Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak sejak dini merupakan hal yang sangat penting karena kecerdasan spiritual tidak tumbuh dengan sendirinya ketika dewasa. Akan tetapi, harus dipupuk dan dibangkitkan semenjak usia dini.
Mengembangkan kecerdasan spiritual Anak atau SQ Anak ini sangat sejalan dengan artikel kami tentang Menanamkan Akhlakul Karimah Sejak Usia Dini Menyelamatkan masa depan Bangsa. Yang mana krisis akhlak yang menimpa Indonesia berawal dari lemahnya penanaman nilai-nilai terhadap anak pada usia dini. Pembentukan akhlakul karimah berkaitan erat dengan kecerdasan emosi, sementara itu kecerdasan emosi tersebut tidak akan berarti tanpa ditopang oleh kecerdasan spiritual. Usia balita adalah awal yang paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai kepada anak. Namun, yang terjadi sebaliknya. Anak lebih banyak dipaksa untuk mengekplorasi bentuk kecerdasan yang lain, khususnya kecerdasan intelektual, sehingga anak sejak awal sudah ditekankan untuk selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik, sehingga menyebakan tercerabutnya kepekaan anak terhadap nilai-nilai Akhlakul Karimah.
Sementara itu lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat kurang memberikan dukungan terhadap penumbuhan kecerdasan spiritual pada anak. Di lingkungan keluarga anak lebih banyak berinteraksi dengan sesuatu yang justru menyebabkan semakin jauhnya kepekaan anak, bahkan yang lebih parah lagi apabila proses dehumanisasi itu terjadi justru di tengah lingkungan keluarga. Keluarga sebagai tempat pendidikan yang utama malahan kering dari aspek pedagogis.
Kecerdasan Spiritual yang sebelumnya dikenalkan oleh Donah Zohar dan Ian Marshal pada awal tahun 2000 sebenarnya kecerdasan spiritual sudah dikenal sejak peradaban Islam ada di muka bumi ini. Berkut kami kutip lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A. Emmons, The Psychology of Ultimate Concerns:
- kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material;
- kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak;
- kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari;
- kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah;
- dan kemampuan untuk berbuat baik.
Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai
komponen inti kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau
makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia
memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia
dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa
yang disaksikan dengan alat-alat indrianya.
Sanktifikasi
pengalaman sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika kita meletakkan
pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad pertengahan seorang
musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata.
Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak
kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia
tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, Apa
yang sedang Anda kerjakan? Yang cemberut menjawab, Saya sedang menumpuk batu.
Yang ceria berkata, Saya sedang membangun katedral! Yang kedua telah mengangkat
pekerjaan menumpuk bata” pada dataran makna
yang lebih luhur. Ia telah melakukan sanktifikasi.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan
persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya
dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual
seperti teks teks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci- untuk memberikan
penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Memberi
maaf, bersyukur atau mengungkapkan terimakasih, bersikap rendah hati,
menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan.
Karakteristik terakhir ini mungkin disimpulkan dalam sabda nabi Muhammad saw,
Amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia.
Kiat-kiat mengembangkan SQ anak Dengan pengertian di atas,
berikut ini Kami sampaikan secara singkat kiat-kiat untuk mengembangkan SQ
anak-anak kita.
- Jadilah kita pembimbing spiritual yang baik,
- Bantulah anak untuk merumuskan misi hidupnya,
- Baca Al-Qur’an bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan kita,
- Ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual,
- Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah,
- Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan,
- Bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional,
- Bawa anak untuk menikmati keindahan alam,
- Bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita, dan
- Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Mari kita uraikan satu persatu:
1. Jadilah pembimbing spiritual.
Orang tua atau guru yang bermaksud mengembangkan SQ anak
haruslah seseorang yang sudah mengalami kesadaran spiritual juga. Ia sudah
“mengakses” sumber-sumber spiritual untuk mengembangkan dirinya. Seperti
disebutkan di atas yakni karakteristik orang yang cerdas secara spiritual, ia
harus dapat merasakan kehadiran dan peranan Tuhan dalam hidupnya.
Spiritual intelligence is the faculty of our nonmaterial
dimension- the human soul,” kata Khalil Khavari. Ia harus sudah menemukan makna
hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada orang-orang di
sekitarnya sebagai “orang yang berjalan dengan membawa cahaya.” (Al-Quran
6:122). Ia tahu ke mana ia harus mengarahkan bahteranya.
Ia pun menunjukkan tetap bahagia di tengah taufan dan badai
yang melandanya. “Spiritual intelligence empowers us to be happy in spite of
circumstances and not because of them,” masih kata Khavari. Bayangkalah masa
kecil kita dahulu. Betapa banyaknya perilaku kita terilhami oleh orang-orang
yang sekarang kita kenal sebagai orang yang berSQ tinggi. Dan orang-orang itu
boleh jadi orang-tua kita, atau guru kita, atau orang-orang kecil di sekitar
kita.
2. Rumuskan misi hidup.
Nyatakan kepada anak
bahwa ada berbagai tingkat tujuan, mulai dari tujuan paling dekat sampai tujuan
paling jauh, tujuan akhir kita. Kepada saya datang seorang anak muda dari
Indonesia bagian timur. Ia meminta bantuan saya untuk melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi swasta, setelah gagal di UMPTN. Ia tidak punya apa pun kecuali
kemauan. Sayang, ia belum bisa merumuskan keinginannya dalam kerangka missi
yang luhur. Berikut ini adalah cuplikan percakapan kami:
* Saya ingin belajar,
Pak * Untuk apa kamu belajar? * Saya ingin mendapat pekerjaan. * Jika belajar
itu hanya untuk dapat pekerjaan, saya
beri kamu pekerjaan. * Tinggallah di rumahku. Cuci mobilku, dan saya bayar. *
Saya ingin belajar, Pak * Untuk apa kamu belajar? * Saya ingin mendapat
pengetahuan * Jika tujuan kamu hanya untuk memperoleh pengetahuan, tinggallah
bersamaku. Saya wajibkan kamu setiap hari untuk membaca buku. Kita lebih banyak
memperoleh pengetahuan dari buku ketimbang sekolah. * Tetapi saya ingin masuk
sekolah. * Untuk apa kamu masuk sekolah? * Saya bingung, Pak.
Saya sebenarnya ingin mengarahkan dia untuk memahami tujuan
luhur dia. Dengan menggunakan teknik “what then, se=F1or” dalam anekdot Danah
Zohar, kita dapat membantu anak untuk menemukan missinya. Jika kamu sudah
sekolah, kamu mau apa? Aku mau jadi orang pintar. Jika sudah pintar, mau apa,
what then? Dengan kepintaranku, aku akan memperoleh pekerjaan yang bagus. Jika
sudah dapat pekerjaan, mau apa? Aku akan punya duit banyak. Jika sudah punya
duit banyak, mau apa? Aku ingin bantu orang miskin, yang di negeri kita sudah
tidak terhitung jumlahnya. Sampai di sini, kita sudah membantu anak untuk
menemukan tujuan hidupnya.
3. Baca Alqur’an.
Di antara pemikir besar Islam, yang memasukkan kembali
dimensi ruhaniah ke dalam khazanah pemikiran Islam, adalah Dari Muhammad Iqbal.
Walaupun ia dibesarkan dalam tradisi intelektual barat, ia melakukan
pengembaraan ruhaniah bersama Jalaluddin Rumi dan tokoh-tokoh sufi lainnya.
Boleh jadi, yang membawa Iqbal ke situ adalah pengalaman masa kecilnya. Setiap
selesai salat Subuh, ia membaca Al-Quran. Pada suatu hari, bapaknya berkata, “Bacalah Al-Quran seakan-akan ia
diturunkan untukmu!”Setelah itu, kata Iqbal, “aku merasakan Al-Quran
seakan-akan berbicara kepadaku.”
4. Ceritakan kisah-kisah agung.
Anak-anak, bahkan orang dewasa, sangat terpengaruh dengan
cerita. “Manusia,”kata Gerbner, adalah satu-satunya makhluk yang suka bercerita
dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya.” Para Nabi mengajar umatnya
dengan parabel atau kisah perumpamaan. Para sufi seperti Al-’Attar, Rumi, Sa’di
mengajarkan kearifan perenial dengan cerita. Sekarang Jack Canfield memberikan
inspirasi pada jutaan orang melalui Chicken Soup-nya. Kita tidak akan
kekurangan cerita luhur, bila kita bersedia menerima cerita itu dari semua
sumber. Saya senang berdiskusi dengan anak-anak saya bukan hanya kisah-kisah
Islam saja, juga cerita-cerita dalam Alkitab, kisah-kisah dari Cina dan India,
mitologi Yunani, dongeng-dongeng dari berbagai tempat di tanah air, sejak
kisah-kisah pewayangan di Jawa sampai dongeng-dongeng dari Maluku. Begitu pula,
saya membaca cerita-cerita Andersen, fabel-fabelnya Jean de la Fontaine, sampai
Crayon Sin Chan. Saya selalu menemukan pelajaran berharga di dalamnya. Saya
bagikan pelajaran itu pada anak-anak saya, yang dilahirkan baik oleh isteri
saya, maupun oleh isteri-isteri orang lain (misalnya, yang saya ajar di sekolah
saya).
5. Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah.
Melihat dari perspektif ruhaniah artinya memberikan makna
dengan merujuk pada Rencana Agung Ilahi (Divine Grand Design). Mengapa hidup
kita menderita? Kita sedang diuji Tuhan. Dengan mengutip Rumi secara bebas,
katakan kepada anak kita bahwa bunga mawar di taman bunga hanya merkah setelah
langit menangis. Anak kecil tahu bahwa ia hanya akan memperoleh air susu dari
dada ibunya setelah menangis. Penderitaan adalah cara Tuhan untuk membuat kita
menangis. Menangislah supaya Sang Perawat Agung memberikan susu keabadian
kepadamu. Mengapa kita bahagia? Perhatikan bagaimana Tuhan selalu mengasihi
kita, berkhidmat melayani keperluan kita, bahkan jauh sebelum kita dapat
menyebut asma-Nya
6. Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.
Kegiatan agama adalah cara praktis untuk “tune in” dengan
Sumber dari Segala Kekuatan. Ambillah bola lampu listrik di rumah Anda.
Bahaslah bentuknya, strukturnya, komponen-komponennya, kekutan cahayanya,
voltasenya, dan sebagainya. Anda pasti menggunakan sains. Kegiatan agama adalah
kabel yang menghubungkan bola lampu itu dengan sumber cahaya. Sembahyang, dalam
bentuk apa pun, mengangkat manusia dari pengalaman fisikal dan material ke
pengalaman spiritual. Untuk itu, kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan
dengan terlalu banyak menekankan hal-hal yang formal. Berikan kepada anak-anak
kita makna batiniah dari setiap ritus yang kita lakukan. Sembahyang bukan
sekedar kewajiban. Sembahyang adalah kehormatan untuk menghadap Dia yang
Mahakasih dan Mahasayang!
7. Bacakan
puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional.
Seperti kita sebutkan di atas, manusia mempunyai dua
fakultas, fakultas untuk mencerap hal-hal material dan fakultas untuk mencerap
hal-hal spiritual. Kita punya mata lahir dan mata batin. Ketika kita berkata “masakan ini
pahit”, kita sedang menggunakan indra lahiriah kita. Tetapi ketika kita berkata
“keputusan ini pahit”, kita sedang menggunakan indra batiniah kita. Empati,
cinta, kedamaian, keindahan hanya dapat dicerap dengan fakultas spiritual kita
(Ini yang kita sebut sebagai SQ). SQ harus dilatih. Salah satu cara
melatih SQ ialah menyanyikan lagu-lagu ruhaniah atau membacakan puisi-puisi.
Jika Plato berkata “pada sentuhan cinta semua orang menjadi pujangga”, kita
dapat berkata “pada sentuhan puisi semua orang menjadi pecinta.”
8. Bawa anak untuk
menikmati keindahan alam.
Teknologi moderen dan kehidupan urban membuat kita
teralienasi dari alam. Kita tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari kita
berhubungan dengan alam yang sudah dicemari, dimanipulasi, dirusak. Alam tampak
di depan kita sebagai musuh setelah kita memusuhinya. Bawalah anak-anak kita
kepada alam yang relatif belum banyak tercemari. Ajak mereka naik ke puncak
gunung. Rasakan udara yang segar dan
sejuk. Dengarkan burung-burung yang berkicau dengan bebas. Hirup wewangian
alami. Ajak mereka ke pantai. Rasakan angin yang menerpa tubuh. Celupkan kaki
kita dan biarkan ombak kecil mengelus-elus jemarinya. Dan seterusnya. Kita
harus menyediakan waktu khusus bersama mereka untuk menikmati ciptaan Tuhan,
setelah setiap hari kita dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri.
9. Bawa anak ke
tempat-tempat orang yang menderita.
Nabi Musa pernah berjumpa dengan Tuhan di Bukit Sinai.
Setelah ia kembali ke kaumnya, ia merindukan pertemuan dengan Dia bermunajat,
“Tuhanku, di mana bisa kutemui Engkau.” Tuhan berfirman, “Temuilah aku di
tengah-tengah orang-orang yang hancur hatinya.”
Di sekolah kami ada program yang kami sebut sebagai
“spiritual camping”. Kami bawa anak-anak ke daerah pedesaan, di mana alam
relatif belum terjamah oleh teknologi. Malam hari, mereka mengisi waktunya
dengan beribadat dan tafakkur. Siang hari mereka melakukan action research,
untuk mencari dan meneliti kehidupan orang yang paling miskin disekitar itu.
Seringkali, ketika
mereka melaporkan hasil penelitian itu, mereka menangis.
Secara serentak, mereka menyisihkan uang mereka untukmemberikan bantuan. Dengan
begitu, mereka dilatih untuk melakukan kegiatan sosial juga.
10. Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Saya teringat cerita nyata dari Canfield dalam Chicken Soup
for the Teens. Ia bercerita tentang seorang anak yang “catatan kejahatannya
lebih panjang dari tangannya.” Anak itu pemberang, pemberontak, dan ditakuti
baik oleh guru maupun kawan-kawannya. Dalam sebuah acara perkemahan, pelatih
memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan makanan untuk disumbangkan bagi
penduduk yang termiskin. Ia berhasil memimpin kawan-kawannya untuk mengumpulkan
dan membagikan makanan dalam jumlah yang memecahkan rekor kegiatan sosial
selama ini. Setelah makanan, mereka mengumpulkan selimut dan alat-alat rumah
tangga. Dalam beberapa minggu saja, anak yang pemberang itu berubah menjadi
anak yang lembut dan penuh kasih. Seperti dilahirkan kembali, ia menjadi anak
yang baik – rajin, penyayang, dan penuh tanggung jawab.
Demikianlah Cara-cara Mengembangkan Kecerdasan Spritual Anak yang kami ketahui, mungkin Anda tertarik membaca artikel lain tentang bagaimana cara menanamkan Akhlakul Karimah kepada Anak sejak dini.
Berikut ini ada beberapa buku tentang Mengembangkan Kecerdasan Anak yang bisa dibaca online langsung:
Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW.
Berikut ini ada beberapa buku tentang Mengembangkan Kecerdasan Anak yang bisa dibaca online langsung:
Kecerdasan Spiritual Mengapa SQ Lbh Penting dr pd IQ & EQ